Sejarah dan Aktifitan Kebudayaan Betawi
Pada tahun 1930,
kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul
sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang
Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu. Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan
menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan
kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari,
mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal
mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis
dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas,
yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Ada juga yang berpendapat bahwa orang
Betawi tidak hanya mencakup masyarakat campuran dalam benteng Batavia
yang dibangun oleh Belanda tapi juga mencakup penduduk di luar benteng
tersebut yang disebut masyarakat proto Betawi. Penduduk lokal di luar
benteng Batavia tersebut sudah menggunakan bahasa Melayu, yang umum
digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai bahasa nasional.
Hal ini terjadi karena pada abad ke-6, kerajaan Sriwijaya menyerang
pusat kerajaan Tarumanagara
yang terletak di bagian utara Jakarta sehingga pengaruh bahasa Melayu
sangat kuat disini. Selain itu, perjanjian antara Surawisesa (raja
Kerajaan Sunda) dengan bangsa Portugis pada tahun 1512 yang membolehkan
Portugis untuk membangun suatu komunitas di Sunda Kalapa mengakibatkan
perkawinan campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis yang
menurunkan darah campuran Portugis. Dari komunitas ini lahir musik
keroncong.
Suku Betawi berasal dari hasil
kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka
yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah
campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia.
Apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi sebenarnya terhitung
pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan
berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta,
seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, Melayu dan Tionghoa.
1. Bahasa Betawi
Sifat campur-aduk dalam dialek Betawi
adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan
hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal dari
daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing.
Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar Batavia
juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi). Menurut
sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura atau Sunda
Kalapa, pernah diserang dan ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari
Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau etnis Sunda di pelabuhan
Sunda Kalapa, jauh sebelum Sumpah Pemuda, sudah menggunakan bahasa
Melayu, yang umum digunakan di Sumatera, yang kemudian dijadikan sebagai
bahasa nasional.
Karena perbedaan bahasa yang digunakan tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya sebagai etnis Betawi (kata turunan dari Batavia). Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda
seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak, Ciliwung, Cideng (yang berasal
dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan tearkhir menjadi
Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang
digambarkan dalam naskah kuno Bujangga Manik yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford, Inggris. Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
2. Seni dan kebudayaan Betawi
Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong.
Sifat campur-aduk dalam dialek
Betawi adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang
merupakan hasil perkawinan berbagai macam kebudayaan, baik yang berasal
dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun kebudayaan asing. Dalam
bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong yang berasal dari seni musik Tiongkok, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik Arab, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-Arab,dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi
adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka
adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
3. Kepercayaan
Orang Betawi sebagian besar menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik
juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang
beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan
campuran antara penduduk lokal dengan bangsa Portugis.
Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda
mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan Portugis
membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.
4. Profesi dan Perilaku serta sifat Masyarakat Betawi
Di Jakarta,
orang Betawi sebelum era pembangunan orde baru, terbagi atas beberapa
profesi menurut lingkup wilayah (kampung) mereka masing-masing. Semisal
di kampung Kemanggisan dan sekitaran Rawabelong banyak dijumpai para
petani kembang (anggrek, kemboja jepang, dan lain-lain). Dan secara umum
banyak menjadi guru, pengajar, dan pendidik semisal K.H. Djunaedi, K.H.
Suit, dll. Profesi pedagang, pembatik juga banyak dilakoni oleh kaum
betawi. Petani dan pekebun juga umum dilakoni oleh warga Kemanggisan.
Kampung yang sekarang lebih dikenal dengan Kuningan adalah tempat para
peternak sapi perah. Kampung Kemandoran di mana tanah tidak sesubur
Kemanggisan. Mandor, bek, jagoan silat banyak di jumpai disana semisal
Ji’ih teman seperjuangan Pitung dari Rawabelong. Di kampung Paseban
banyak warga adalah kaum pekerja kantoran sejak zaman Belanda dulu,
meski kemampuan pencak silat mereka juga tidak diragukan. Guru,
pengajar, ustadz, dan profesi pedagang eceran juga kerap dilakoni.
Warga Tebet aslinya adalah orang-orang
Betawi gusuran Senayan, karena saat itu Ganefonya Bung Karno menyebabkan
warga Betawi eksodus ke Tebet dan sekitarnya untuk “terpaksa”
memuluskan pembuatan kompleks olahraga Gelora Bung Karno yang kita kenal
sekarang ini. Karena asal-muasal bentukan etnis mereka adalah
multikultur (orang Nusantara, Tionghoa, India, Arab, Belanda, Portugis,
dan lain-lain), profesi masing-masing kaum disesuaikan pada cara pandang
bentukan etnis dan bauran etnis dasar masing-masing.
Asumsi kebanyakan orang tentang
masyarakat Betawi ini jarang yang berhasil, baik dalam segi ekonomi,
pendidikan, dan teknologi. Padahal tidak sedikit orang Betawi yang
berhasil. Beberapa dari mereka adalah Muhammad Husni Thamrin, Benyamin Sueb, dan Fauzi Bowo yang menjadi Gubernur
Jakarta saat ini . Ada beberapa hal yang positif dari Betawi antara
lain Jiwa sosial mereka sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa
hal terlalu berlebih dan cenderung tendensius. Orang betawi juga sangat
menjaga nilai-nilai agama yang tercermin dari ajaran orang tua
(terutama yang beragama Islam), kepada anak-anaknya. Masyarakat Betawi
sangat menghargai pluralisme. Hal ini terlihat dengan hubungan yang baik
antara masyarakat betawi dan pendatang dari luar Jakarta.
Orang betawi sangat menghormati budaya
yang mereka warisi, terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih
memainkan lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa
seperti lenong, ondel-ondel, gambang kromong, dan lain-lain. Memang
tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat betawi
masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi di lahan lahirnya sendiri
(baca : Jakarta). Namun tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi
generasi mendatang yang justru akan menopang modernisasi tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar