Jumat, 21 Oktober 2011

Kekerabatan, Kultur Manis Indonesia



Selama ini saya ga pernah merasa saya bukan bagian dari masyarakat Indonesia. Tapi sekarang, saya heran kenapa saya yang lahir dan dibesarkan di tanah ini menjadi asing dengan kultur yang ada.
Artikel ini dibuat setelah saya mampir ke berbagai blog yang dengan antusias menuliskan betapa manisnya berkumpul bersama kerabat (famili, sanak keluarga, atau apa pun istilahnya) selama lebaran.
Dari berbagai tulisan itu saya dapat merasakan betapa kental kekerabatan dalam masyarakat Indonesia. Hei, saya orang Indonesia juga tapi kok ga bisa merasakan hal yang sama? Saya heran gimana seorang adik bisa kangen setengah mati pada kakaknya cuma karena sudah setahun ga ketemu. Kok bisa, ya?
Saya pernah ga ketemu satu-satunya abang kandung saya selama delapan tahun. Bahkan terakhir kami bertemu enam tahun lalu. Jika dia jadi berangkat ke luar negeri untuk bekerja akhir tahun ini, saya ga tahu kapan kami akan bertemu lagi. Saya ‘hanya’ menerima kiriman oleh-oleh tiap kali saudara-saudara saya balik dari luar negeri.
Saya ga datang menjenguk kakak yang pulang dari haji. Seorang teman dekat sampai heran mengenai ini. Alasan saya, saya ga mungkin bolak-balik ke Jakarta membuang uang sekian juta (saat itu ongkos pesawat masih mahal) dan meninggalkan pekerjaan, kan kakak saya ‘hanya’ pulang dari Mekah. Bukan kali pertama dia ke luar negeri dan saya belum pernah ikut menjemput atau mengantarnya.
Saya pun ‘hanya’ bisa menghadiri wisuda salah satu kakak.
Satu-satunya saudara yang saya hadiri pernikahannya hanyalah adik bungsu. Saat itu hampir semua sanak keluarga hadir. Dan saya ga punya halangan apa pun untuk datang. Pernikahan kakak pertama dan ketiga ga bisa saya hadiri karena saya sedang ujian semester. Sedangkan pernikahan kakak kedua dilaksanakan sehari sebelum saya ujian skripsi.
Saya bahkan ga hafal nama-nama seluruh ponakan saya yang jumlahnya cuma sepuluh! Meski setiap ulang tahun selalu saya kirimi sms atau menelpon karena ada alarm pengingat di ponsel saya.
Kurang Indonesianis?
Secara pribadi senang sekali dengan kekerabatan di negara ini. Mereka masih bisa mengingat nama nenek buyutnya, masih tahu tante dari tantenya, masih kenal ipar dari kakak iparnya. Bahkan mereka sering menganggap orang yang ga ada hubungan sebagai sanak keluarga atau ‘masih ada bau-baunya’.
Adat Indonesia yang berfaham patrilinial, terutama beberapa suku seperti Batak, Manado, dan Bugis, memang mengisyaratkan kekerabatan jauh sebagai bagian dari keluarga besar. Bahkan amat besar.
Tapi dalam kehidupan pribadi, saya lebih suka menganggap ayah-ibu dan saudara-saudara kandung plus keluarga inti mereka (suami-istri dan anak-anak) sebagai keluarga saya. Diluar itu, saya ga berkewajiban menjadi bagian dari keluarga mereka. Tapi kalau mereka datang ke Palembang, saya akan senang jika mereka bisa menginap di rumah saya.
Mungkin terdengar terlalu individualis, sok bisa mengatasi masalah tanpa bantuan orang lain. Tapi aslinya saya hanya ga mau merepotkan siapa pun. Jika saya punya masalah, saya terbiasa menyelesaikannya sendiri. Setelah masalah kelar, baru saya akan menelpon kerabat memberitahukan semuanya. Pernah putra saya opname di rumah sakit selama seminggu. Kakak ipar menelpon besok akan menjemput kami lebaran di rumahnya. Dia terkejut setengah mati saat tahu baru setengah jam yang lalu kami keluar dari rumah sakit!
Sejak itu, ibu atau saudara-saudara saya, juga teman-teman, jadi rajin menanyakan apa yang sedang terjadi. Soalnya kalau menunggu saya cerita, pasti telat. Jadi bukan sekadar menanyakan kabar karena saya pasti akan menjawab baik-baik saja meski saat itu saya sedang berurusan dengan polisi atau lagi diopname di rumah sakit, misalnya.
Beberapa teman bilang saya ga Indonesianis (istilah apa pula ini!).
Dalam pikiran saya, menolong orang ga harus melihat sisi kekerabatan. Sampai detik ini, seorang tetangga jauh (hanya pernah bicara 1-2 kali) meminjam uang sekian juta rupiah untuk membayar ongkos operasi istri dan anaknya. Herannya dia mau-maunya datang ke saya padahal saya bukan
orang kaya. Bahkan saat itu tinggal di rumah kontrakan. Sedangkan tetangga-tetangga lainnya tinggal di rumah gedong milik sendiri! Seandainya pun dia punya rejeki untuk mengembalikan uang saya, dia akan kesulitan karena saya pindah rumah sejak dua bulan lalu.
Dalam pandangan saya, semua manusia di muka bumi ini adalah kerabat. Semua berasal dari satu nenek moyang. Dulu waktu masih punya waktu menulis buat website komersil seorang teman, saya ga pernah mengambil feetetapi si teman akan menyalurkan uang itu ke sebuah yayasan kemanusian untuk disalurkan ke seluruh dunia.
Daddy saya (semoga Tuhan menjaganya) mengajarkan hal itu. Suatu hari dia menelpon saya dan menanyakan apa saya baik-saik saja karena dia barusan membaca berita di internet ada gempa bumi di Indonesia. Dari internet saya tahu bahwa gempanya di Jawa Tengah.
Saya bilang: untung ga ada keluarga di sana.
Beliau marah sekali mendengar itu.
‘Teganya kamu bilang begitu. Orang-orang itu lagi bersedih. Mungkin juga ada yang mati. Dan mereka semua saudaramu!’
Apa untungnya memiliki banyak kerabat?
1) Jika ada masalah tentu akan banyak pihak yang bisa dimintai bantuan.
2) Banyak tempat liburan yang bisa dituju, terutama kalau lagi bokek.
3) Kalau ingin cerita, ada banyak orang yang siap mendengarkan.
Trus apa ruginya?
1) Tentu akan banyak hari yang harus disisihkan untuk saling berkunjung. Mungkin bahkan mengorbankan perasaan anak-anak mereka yang sebenarnya ga mau ikut tapi terpaksa harus terlibat dengan alasan menghormati keluarga.
2) Harus menyisihkan waktu plus duit untuk sms atau nelpon atau membelikan sejumlah hadiah buat peristiwa penting, misalnya ulang tahun atau menikah.
3) Nama-nama yang harus dihapal makin nambah (soalnya saya paling susah menghapal nama orang!)
Kerabat yang Saya Kenal
Orang-orang yang saya kenal selain keluarga inti saya adalah saudara-saudara kandung beserta suami-istri dan anak-anak mereka. Tapi jangan tanya saya nama-nama asli mereka. Saya ga yakin saya bisa menyebutkan semuanya dengan benar.
Waktu kecil saya kenal kakek (orang tua ibu, karena yang lain sudah meninggal sebelum saya lahir), semua saudara kandung ibu dan anak-anak mereka (yang waktu itu baru beberapa orang), 2-3 orang saudara kandung ayah, beberapa sepupu dari keluarga ibu dan ayah (meski ga satu pun yang saya tahu keberadaannya sekarang, entah di mana mereka tinggal atau bekerja).

0 komentar:

Posting Komentar